Jumat, 02 April 2010

VISI DAN MISI

VISI:
Prestasi Gemilang, Akhlaq Cemerlang
MISI:
......

Drs. Slamet Pujiyono,M. Pd.


Beliau adalah Kepala Sekolah ke2 setelah Bpk. Purwanto S. Pd. Pria kelahiran Temnaggung, 28 Nopember 1965 ini telah menjabat sejak 2008 dengan gaya kepemimpinan yang khas yaitu "Santai tapi Pasti", dengan gaya yang nyantai dan penuh "guyon" beliau mapu menyelaraskan posisi SMP 3 Kandangan yang berada di "pucuk gunung"sapu angin menjadi salah satu sekolah yang tidak dianggap remeh di Temanggung, baik akademis maupun olah raga..
Bapak yang tinggal di Griya Sidemangan Permai, Maron, Temanggung ini mempunyai 2 orang putri, yang masih duduk dibangku SMP (no 1), dan ditaman kanak-kanak (no 2).
Pak Met, begitu sapaan akrab bagi pria yang merupakan pecinta dan pelantun campursari, dangdut dan "uyon-uyon".

SELAYANG PANDANG...

Sekolah ini berdiri pada tahun 2003, bertempat di kawasan pegunungan yang sejuk, tepatnya di kawasan tenggara kabupaten temanggung, yakni di desa tlogopucang, kandangan, temanggung, yang terletak disebelah timur biara trapis”ROWOSENENG”. Sekolah yang terletak diantara kultur budaya islam yang kental dan sinergis dengan budaya “njawani” membuat tempat tinggi dengan suasana sejuk, curah hujan tinggi dan sulitnya mencari sumber air saat kemarau ini menjadi kian pesat perkembanganya, karena keramahtamahan dan keluguan masyarakat di sekitarnya.

Pada awal berdirinya, pembelajaran di sekolah ini berlangsung dengan cara menumpang di gedung balai desa, dengan jumlah murrid 128 siswa dengan pola pembeajaran “one big class system ”dapat dibayangkan betapa riuhnya suasana kelas dengan jumlah murid yang berjubel, dan ketika selepas istirahat, betapa menyegatnya aroma tubuh siswa, karena ketika beranggkat sekolah anak-anak tidak mandi karena keringya daerah ini yang menyebabkan kelangkaan air yang ditambah dengan musim kemarau yang terjadi pada awal tahun yaiitu sekitar bulan juni dan juli.

Pada awal berdirinya, smpn 3 kandangan hanya terdapat 6 guru, yang terdiri dari 1 pns sebagai kepala sekolah, 4 guru Bantu pemerintah, 1 guru Bantu sd yang diperbantukan dan 1 orang tenaga adminitrasi. Jangankan berbicara tentang kesejahtreraan, pada saat itu untuk pembiayaan alat tulis kantor serta “uborampe” terpaksa menghutang di toko ATK yang sempat tidak percaya dengan keberadaan sekolah serta mampukah kami(sekolah) untuk membayar hutang tersebut? Dan hal ini berlangsung selama 6 bulan (1 semesrter).

Kegiatan belajar mengajar pada saat itu sangatlah aneh dan mungkin teraneh di seluruh penjuru negeri, karena hamper semua guru(kecuali kepala sekolah) adalah orang-orang yang baru pertama kali berkecimpung di dunia pendidikan apalagi mengajar mengajar. Dapat dibayangkan bahwa hamper semua guru mengajar dengan cara yang hamper semuanya tidak penah mengajar dan hamper semua guru mengajar mata pelajaran “ropelan” yakni 1 guru mengajar lebih dari 2 mata pelajaran. Proses belajar ropelan ini berlangsung hamper 2 tahun, dan karena besarnya semangat guru hamper di setiap lomba yang diadakan oleh dinas (dinas p dan k waktu itu) selalu memperoleh juara meskipun hanya mampu memperoleh 15 besar, tapi hal tersebut sudah menjadi kepuasan bagi kami pengajar amatiran disana.

Setelah lebih dari 1 semester proses bekajar mengajar berlangsung, barulah kami pindah ke gedung baru yang berasal dari bantuan blogrant pemerintah yang besarnya mencapai 1 milyar rupiah, dan adapat dibayangakan betapa megahnya sekolah yang dibangun dengan dana sebesar itu, dan dengan semua fasilitas yang dimiliki.

Pada awal tahun 2005 beberapa teman kami (cpns baru) dating membantu kami yang hingga saat ini (2009/2010) jumlah guru dan karyawan mencapai 27 orang.

Budaya “njawani” dan “mutik”

Berbicara tentang budaya dan kebiasaan masyarakat tlogopucang pada khususnya, istilah “njawani” sangatlah tepat untuk menggambarkan kebiasaan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kejawen yang telah mengakar pada nadi kehidupan masyarakat.

Nyadran

Adalah sebuah acara dimana banyak masyarakat seputaran temanggung melkukannya, yakni ritual doa bersama yang dilakukan untuk mendoakan leluhur yang bertempat di ”sarean”(kuburan) yang diakhiri dengan acara makan bersama. Anehnya, kegiatan yang menghabiskan hamper setengah juta tiap nyadran ini berlangsung lebih dri 3 kali dalam setahun. Berhubungan dengan keadaan sekolah waktu itu, sudah selayaknya dan sewajarnya apabila pada hari “Gizi’ tersebut banyak siswa yang tidak berangakat sekolah dan mengikuti acara “besar” tersebut. Sedangakan pembiayaan yang begitu besar sangatlah mudh dikeluarkan untuk acara “gizi” tersebut, sedangkan untuk membayara spp (karena bos belum dikeluarkan waktu itu) merekan megiba ke sekolah hanya untuk sekedar “dimiskinkan” untuk memperoleh pembebasab biaya yang hanya Rp. 5.000,00 tiap bulan tanpa ebel-embel lainya disekolah.